Minggu, 18 Januari 2009

Kebudayaan Tionghoa

November 22, 2008


Suku bangsa Tionghoa di Indonesia adalah satu etnis penting dalam percaturan sejarah Indonesia jauh sebelum Republik Indonesia dideklarasikan dan terbentuk. Setelah negara Indonesia terbentuk, maka otomatis orang Tionghoa yang berkewarganegaraan Indonesia haruslah digolongkan menjadi salah satu suku dalam lingkup nasional Indonesia setingkat dan sederajat dengan suku-suku bangsa lainnya yang membentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Tionghoa di Indonesia merupakan keturunan dari leluhur mereka yang berimigrasi secara periodik dan bergelombang sejak ribuan tahun lalu. Catatan-catatan literatur Tiongkok menyatakan bahwa kerajaan-kerajaan kuna di Nusantara telah berhubungan erat dengan dinasti-dinasti yang berkuasa di Tiongkok. Faktor inilah yang kemudian menyuburkan perdagangan dan lalu lintas barang maupun manusia dari Tiongkok ke Nusantara dan sebaliknya.
Orang Tionghoa di Indonesia terbiasa menyebut diri mereka sebagai Tenglang (Hokkien), Tengnang (Tiochiu), atau Thongnyin (Hakka). Sedangkan dalam dialek Mandarin disebut Tangren (Hanzi, bahasa Indonesia: Orang Tang). Ini sesuai dengan kenyataan bahwa orang Tionghoa Indonesia mayoritas berasal dari Tiongkok Selatan yang menyebut diri mereka sebagai orang Tang, sedangkan Tiongkok Utara menyebut diri mereka sebagai orang Han (Hanzi, hanyu pinyin: hanren, bahasa Indonesia: Orang Han).

A. KRONOLOGI SEJARAH
.
Bangsa Tionghoa telah ribuan tahun mengunjungi kepulauan Nusantara. Salah satu catatan-catatan tertua ditulis oleh para agamawan Fa Hsien pada abad ke-4 dan terutama I Ching pada abad ke-7. I Ching ingin datang ke India untuk mempelajari agama Buddha dan singgah dulu di Nusantara untuk belajar bahasa Sansekerta dahulu. Di Jawa ia berguru pada seseorang bernama Jñânabhadra.
Kemudian dengan berkembangnya negara-negara kerajaan di tanah Jawa mulai abad ke-8, para imigran Tionghoapun mulai berdatangan. Pada prasasti-prasasti dari Jawa orang Tionghoa disebut-sebut sebagai warga asing yang menetap di samping nama-nama sukubangsa dari Nusantara, daratan Asia Tenggara dan anakbenua India. Dalam prasasti-prasasti ini orang-orang Tionghoa disebut sebagai Cina dan seringkali jika disebut dihubungkan dengan sebuah jabatan bernama Juru Cina atau kepala orang-orang Tionghoa.

Asal kata
Tionghoa adalah istilah yang dibuat sendiri oleh orang di Indonesia berasal dari kata zhonghua dalam bahasa mandarin. Zhonghua dalam dialek Hokkian dilafalkan sebagai Tionghoa.
Wacana Cung Hwa setidaknya sudah dimulai sejak tahun 1880, yaitu adanya keinginan dari orang-orang di Tiongkok untuk terbebas dari kekuasaan dinasty dan membentuk suatu negara yang lebih demokratis dan kuat. Wacana ini sampai terdengar oleh orang asal Tiongkok yang bermukim di Hindia Belanda yang ketika itu dinamakan Orang Cina, diduga panggilan ini berasal dari kosa kata "Ching" yaitu nama dari Dinasti Ching yang berkuasa. Orang asal Tiongkok ini yang anak-anaknya lahir di Hindia Belanda merasa perlu mempelajari kebudayaannya termasuk bahasanya, maka oleh sekelompok orang Tionghoa di Hindia Belanda pada 1900 mendirikan sekolah dibawah naungan suatu badan yang dinamakan "Tjung Hwa Hwei Kwan", yang kalau di lafal Indonesiakan menjadi Tiong Hoa Hwe Kwan (THHK). THHK dalam perjalanannya bukan saja memberikan pendidikan bahasa dan kebudayaan Tiongkok tapi juga menumbuhkan rasa persatuan orang-orang Tionghoa di Hindia Belanda, seiring dengan perubahan istilah Cina menjadi Tionghoa di Hindia Belanda.

Jumlah populasi Tionghoa di Indonesia
Tidak ada data resmi mengenai jumlah populasi Tionghoa di Indonesia dikeluarkan pemerintah sejak Indonesia merdeka. Namun perkiraan kasar yang dipercaya sampai sekarang ini adalah bahwa jumlah suku Tionghoa berada di antara 4% - 5% dari seluruh jumlah populasi Indonesia.
Dalam sensus penduduk pada tahun 2000, ketika responden sensus ditanyakan mengenai asal suku mereka, hanya 1% dari jumlah keseluruhan populasi Indonesia mengaku sebagai Tionghoa.
Daerah asal di Tiongkok


Orang-orang Tionghoa di Indonesia berasal dari tenggara Tiongkok. Mereka termasuk suku-suku:
• Hakka
• Hainan
• Hokkien
• Kantonis
• Hokchia
• Tiochiu
Daerah asal yang terkonsentrasi di pesisir tenggara Tiongkok dapat dimengerti karena dari sejak zaman Dinasti Tang, kota-kota pelabuhan di pesisir tenggara Tiongkok memang telah menjadi bandar perdagangan yang ramai. Quanzhou malah tercatat sebagai bandar pelabuhan terbesar dan tersibuk di dunia pada zaman tersebut.
Ramainya interaksi perdagangan di daerah pesisir tenggara ini kemudian menyebabkan banyak sekali orang-orang Tionghoa juga merasa perlu keluar berlayar untuk berdagang. Tujuan utama saat itu adalah Asia Tenggara dan oleh karena pelayaran sangat tergantung pada angin musim, maka setiap tahunnya, para pedagang Tionghoa akan bermukim di wilayah-wilayah Asia Tenggara yang disinggahi mereka. Demikian seterusnya ada pedagang yang memutuskan untuk menetap dan menikahi wanita setempat, ada pula pedagang yang pulang ke Tiongkok untuk terus berdagang.
Daerah konsentrasi di Indonesia

Daerah Pecinan di Banjarmasin.
Sebagian besar dari orang-orang Tionghoa di Indonesia menetap di pulau Jawa. Daerah-daerah lain di mana mereka juga menetap dalam jumlah besar selain di daerah perkotaan adalah: Sumatra Utara, Bangka-Belitung, Sumatra Selatan, Lampung, Lombok, Kalimantan Barat, Banjarmasin dan beberapa tempat di Sulawesi Selatan dan Sulawesi Utara.
• Hakka - Aceh, Sumatra Utara, Batam, Sumatra Selatan, Bangka-Belitung, Lampung, Jawa, Kalimantan Barat,Banjarmasin, Sulawesi Selatan, Menado, Ambon dan Jayapura.
• Hainan - Riau (Pekanbaru dan Batam), dan Menado.
• Hokkien - Sumatra Utara, Pekanbaru, Padang, Jambi, Sumatra Selatan, Bengkulu, Jawa, Bali (terutama di Denpasar dan Singaraja), Banjarmasin, Kutai, Sumbawa, Manggarai, Kupang, Makassar, Kendari, Sulawesi Tengah, Menado, dan Ambon.
• Kantonis - Jakarta, Makassar dan Menado.
• Hokchia - Jawa (terutama di Bandung, Cirebon, Banjarmasin dan Surabaya).
• Tiochiu - Sumatra Utara, Riau, Sumatra Selatan, dan Kalimantan Barat (khususnya di Pontianak dan Ketapang).

Peran politik Tionghoa
a. Pra kemerdekaan
Dalam perjalanan sejarah, beberapa kali etnis Tionghoa menjadi sasaran pembunuhan massal atau penjarahan seperti pembantaian di Batavia 1740, pembantaian Tionghoa masa perang Jawa 1825-1930, pembunuhan massal etnis Tionghoa di Jawa 1946-1948, peristiwa rasialis 10 Mei 1963, 5 Agustus 1973, Malari 1974 dan Kerusuhan Mei 1998.
Pembantaian etnis Tionghoa di Batavia 1740, melahirkan gerakan perlawanan dari etnis Tionghoa yang bergerak di beberapa kota di Jawa Tengah yang dibantu pula oleh etnis Jawa. Pada gilirannya ini mengakibatkan pecahnya kerajaan Mataram.
Kebangkitan nasionalisme di Hindia Belanda tidak terlepas dari perkembangan yang terjadi pada komunitas Tionghoa. Tanggal 17 Maret 1900 terbentuk di Batavia Tiong Hoa Hwee Koan (THHK) yang mendirikan sekolah-sekolah (jumlahnya 54 buah tahun 1908 dan mencapai 450 sekolah tahun 1934). Inisiatif ini diikuti oleh etnis lain, seperti keturunan Arab yang mendirikan Djamiat-ul Chair meniru model THHK. Pada gilirannya hal ini menyadarkan priyayi Jawa tentang pentingnya pendidikan bagi generasi muda sehingga dibentuklah Budi Utomo.
Tahun 1909 di Buitenzorg (Bogor) Sarekat Dagang Islamiyah didirikan oleh RA Tirtoadisuryo mengikuti model Siang Hwee (kamar dagang orang Tionghoa) yang dibentuk tahun 1906 di Batavia. Bahkan pembentukan Sarekat Islam (SI) di Surakarta tidak terlepas dari pengaruh asosiasi yang lebih dulu dibuat oleh warga Tionghoa. Pendiri SI, Haji Samanhudi, pada mulanya adalah anggota Kong Sing, organisasi paguyuban tolong-menolong orang Tionghoa di Surakarta. Samanhudi juga kemudian membentuk Rekso Rumekso yaitu Kong Sing-nya orang Jawa.
Pemerintah kolonial Belanda makin kuatir karena Sun Yat Sen memproklamasikan Republik China, Januari 1912. Organisasi Tionghoa yang pada mulanya berkecimpung dalam bidang sosial-budaya mulai mengarah kepada politik. Tujuannya menghapuskan perlakukan diskriminatif terhadap orang-orang Tionghoa di Hindia Belanda dalam bidang pendidikan, hukum/peradilan, status sipil, beban pajak, hambatan bergerak dan bertempat tinggal. Dalam rangka pelaksanaan Politik Etis, pemerintah kolonial berusaha memajukan pendidikan, namun warga Tionghoa tidak diikutkan dalam program tersebut. Padahal orang Tionghoa membayar pajak ganda (pajak penghasilan dan pajak kekayaan). Pajak penghasilan diwajibkan kepada warga pribumi yang bukan petani. Pajak kekayaan (rumah, kuda, kereta, kendaraan bermotor dan peralatan rumah tangga) dikenakan hanya bagi Orang Eropa dan Timur Asing (termasuk orang etnis Tionghoa). Hambatan untuk bergerak dikenakan bagi warga Tionghoa dengan adanya passenstelsel. Sejak pembantaian Tionghoa di Batavia tahun 1740, orang Tionghoa tidak dibolehkan bermukim di sembarang tempat. Aturan Wijkenstelsel ini menciptakan pemukiman etnis Tionghoa atau pecinan di sejumlah kota besar di Hindia Belanda.
Target pemerintah kolonial untuk mencegah interaksi pribumi dengan etnis Tionghoa melalui aturan passenstelsel dan Wijkenstelsel itu ternyata ada hikmahnya itu menciptakan konsentrasi kegiatan ekonomi orang Tionghoa di perkotaan. Ketika perekonomian dunia beralih ke sektor industri, orang-orang Tionghoa ini yang paling siap dengan spesialisasi usaha makanan-minuman, jamu, peralatan rumah tangga, bahan bangunan, pemintalan, batik, kretek dan transportasi.
Beberapa orang kapiten Tionghoa yang diangkat Belanda sebagai pemimpin komunitas ternyata juga telah berjasa bagi masyarakat. So Beng Kong dan Phoa Beng Gan membangun kanal di Batavia. Di Yogyakarta, Kapten Tionghoa Tan Djin Sing sempat menjadi Bupati Yogyakarta.
Sebetulnya pada era kolonial kelompok Tionghoa ini juga pernah berjuang, baik sendiri maupun bersama etnis lain, melawan Belanda di Jawa dan di Kalimantan. Bersama etnis Jawa, kelompok ini berperang melawan VOC tahun 1740-1743. Di Kalimantan Barat, komunitas Tionghoa yang tergabung dalam "Republik" Lanfong berperang dengan pasukan Belanda pada abad XIX.
Golongan Tionghoa turut memfasilitasi terjadinya Sumpah Pemuda, dengan dihibahkannya gedung Sumpah Pemuda oleh Sie Kong Liong, dan ada beberapa nama dari kelompok Tionghoa sempat duduk dalam kepanitiaannya itu, antara lain Kwee Tiam Hong dan tiga pemuda Tionghoa lainnya.
Sin Po sebagai koran Melayu Tionghoa juga sangat banyak memberikan sumbangan dalam menyebarkan informasi yang bersifat nasionalis. Lagu Indonesia Raya yang diciptakan oleh W.R. Supratman pertama kali dipublikasikan oleh Koran Sin Po. Sebelumnya, Pada 1920-an harian Sin Po memelopori penggunaan kata Indonesia bumiputera sebagai pengganti kata Belanda inlander di semua penerbitannya. Langkah ini kemudian diikuti oleh banyak harian lain. Sebagai balas budi, semua pers lokal kemudian mengganti kata "Tjina" dengan kata Tionghoa. Pada 1931 Liem Koen Hian mendirikan PTI, Partai Tionghoa Indonesia dan bukan Partai Tjina Indonesia.
Pada masa revolusi tahun 1945-an kita menyaksikan perjuangan Mayor John Lie yang menyelundupkan barang-barang ke Singapura untuk kepentingan pembiayaan Republik. Selain itu ada pula tokoh lain seperti Djiaw Kie Siong memperkenankan rumahnya di pakai untuk rapat mempersiapkan kemerdekaan oleh Bung Karno dan Bung Hatta pada tanggal 16 Agustus 1945. Di Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) yang merumuskan UUD'45 terdapat 5 orang Tionghoa yaitu; Liem Koen Hian, Tan Eng Hoa, Oey Tiang Tjoe, Oey Tjong Hauw, dan Drs.Yap Tjwan Bing. Liem Koen Hian meninggal dalam status sebagai warganegara asing, padahal ia ikut merancang UUD 1945. Dalam perjuangan fisik sebenarnya banyak pahlawan dari Tionghoa yang terjun namun sayangnya tidak banyak dicatat dan diberitakan. Tony Wen adalah orang yang terlibat dalam penurunan bendera Belanda di Hotel Oranye Surabaya.

b. Pasca kemerdekaan
Sejarah politik diskriminatif terhadap etnis Tionghoa terus berlangsung pada era Orde Lama dan Orde Baru. Pada Orde Lama keluar Peraturan Pemerintah No. 10 tahun 1959 yang melarang WNA Tionghoa untuk berdagang eceran di daerah di luar ibukota provinsi dan kabupaten. Hal ini menimbulkan dampak yang luas terhadap distribusi barang dan pada akhirnya menjadi salah satu sebab keterpurukan ekonomi menjelang tahun 1965.
Selama Orde Baru juga terdapat penerapan ketentuan tentang Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia, atau yang lebih populer disebut SBKRI, yang utamanya ditujukan kepada warga negara Indonesia (WNI) etnis Tionghoa beserta keturunan-keturunannya. Walaupun ketentuan ini bersifat administratif, secara esensi penerapan SBKRI sama artinya dengan upaya yang menempatkan WNI Tionghoa pada posisi status hukum WNI yang "masih dipertanyakan".

Peran ekonomi Tionghoa
Tidak diragukan lagi bahwa masyarakat etnis tionghoa memiliki peranan yang amat penting dalam perekonomian di indonesia. Kita bisa menyaksikan urat sendi perekonomian di indonesia kebanyakan dikuasai oleh orang-orang dari etnis tionghoa. Hal utama yang membuat pentingnya percaturan masyarakat tionghoa dalam perekonomian indonesia adalah karena mereka sangat pandai dalam berusaha.

Peran sosial budaya Tionghoa
Didirikannya sekolah-sekolah Tionghoa oleh organisasi Tiong Hoa Hwee Koan (THHK) sejak 1900, mendorong berkembangnya pers dan sastra Melayu Tionghoa. Maka dalam waktu 70 tahun telah dihasilkan sekitar 3000 buku, suatu prestasi yang luar biasa bila dibandingkan dengan sastra yang dihasilkan oleh angkatan pujangga baru, angkatan 45, 66 dan pasca 66 yang tidak seproduktif itu. Dengan demikian komunitas ini telah berjasa dalam membentuk satu awal perkembangan bahasa Indonesia.
Di Medan dikenal kedermawanan Tjong A Fie, rasa hormatnya terhadap Sultan Deli Makmun Al Rasyid diwujudkannya pengusaha Tionghoa ini dengan menyumbang sepertiga dari pembangunan Mesjid Raya Medan.
Saat ini di Taman Mini Indonesia Indah sedang dibangun taman budaya Tionghoa Indonesia yang diprakarsai oleh PSMTI. Pembangunan taman ini direncanakan akan selesai sebelum tahun 2012 dengan biaya lebih kurang 50 milyar rupiah

Tionghoa saat ini

Selama beberapa dasawarsa, aksara Tionghoa atau Hanzi dilarang atau paling tidak "tidak dianjurkan penggunaannya" di Indonesia. Namun akhir-akhir ini bahkan kandidat presiden dan wakil presiden Megawati dan Hasyim Muzadi menggunakannya pada poster kampanye Pemilu Presiden 2004.

Penggunaan kata "Cina"
Di Indonesia penggunaan kata "Cina" oleh penduduk asli Indonesia untuk menunjuk kepada ras atau suku atau pribadi sering dianggap sebagai hal yang sangat kasar sekali (seperti kata "nigger" untuk orang berkulit hitam di Amerika), karenanya, penggunaannya untuk menunjuk ras atau suku atau pribadi merupakan hal yang dapat diartikan sikap sangat rasial.Pada survei terbatas yang dilakukan oleh Metro TV dalam acara Padamu Negeri, organisasi INTI dan Jaringan Muda Tionghoa menyatakan menolak penggunaan kata "Cina", namun tidak keberatan dan tidak terganggu dengan penggunaan tersebut.
Asal konotasi buruk yang dibawa kata "Cina" ini, menurut sebuah tulisan di KOMPAS, adalah dari orang-orang di Tiongkok Daratan yang menganggap kata "Cina" itu diasosiasikan dengan kata zhina, sebuah kata yang lazim digunakan oleh orang Jepang untuk menghina orang Tionghoa sejak Perang Tiongkok-Jepang Kedua. Selain itu, kata "Cina" dapat berasal dari kata Belanda atau Inggris China, yang berasal dari kata Qin, dari dinasti Qin, dinasti pertama yang menyatukan wilayah tersebut (221–206 SM).
Lebih jauh lagi studi yang dilakukan Asim Gunawan (1999) menunjukkan bahwa pada masa sekarang, kata "Cina" tidak lagi mengandung konotasi negatif, dengan pengecualian bagi generasi tua Tionghoa. Sebagian besar dari generasi muda Tionghoa maupun penduduk pribumi, tidak merasakan kata "Cina" bermakna peyoratif ataupun mengandung penghinaan.
Namun demikian, pemerintah Republik Rakyat Cina sendiri tidak menyukai penggunaan kata "Cina" untuk merujuk kepada negara tersebut, dan keberatan ketika pemerintah Indonesia mengganti istilah Republik Rakyat Tiongkok menjadi Republik Rakyat Cina pada 1967. Sebagai alternatif, kata Tionghoa atau kadang China dapat digunakan untuk menunjuk kepada pribadi, suku atau ras. Pihak Kedubes RRT di Indonesia sendiri lebih menyukai kata "Tiongkok" (atau setidaknya "China" yang dibaca seperti dalam Bahasa Inggris) daripada "Cina".

Tionghoa
Tionghoa (dialek Hokkien, yang berarti Bangsa Tengah; dalam Bahasa Mandarin ejaan Pinyin, kata ini dibaca "zhonghua") merupakan sebutan lain untuk orang-orang dari suku atau ras Tiongkok di Indonesia. Kata ini digunakan untuk menggantikan kata "Cina" yang kini memiliki konotasi negatif karena sering digunakan dalam nada merendahkan.
Kata ini juga dapat merujuk kepada orang-orang Tiongkok yang tinggal di luar Tiongkok, Indonesia, Malaysia, Singapura, Hong Kong, dan Taiwan.
Wacana Tionghoa (zhonghua atau cung hwa) setidaknya sudah dimulai sejak tahun 1880, yaitu adanya keinginan dari orang-orang di Tiongkok untuk terbebas dari kekuasaan dinasty dan membentuk suatu negara yang lebih demokratis dan kuat. Kata ini pertama kali diperkenalkan secara luas oleh Dr. Sun Yat-sen, yang merupakan Bapak Revolusi Tiongkok dengan mendirikan Republik China (Zhonghua Minguo) pada tahun 1911, setelah menggulingkan Dinasti Qing. Kemenangan Revolusi Tiongkok ini memberi inspirasi terhadap perjuangan dan kebangkitan nasional di Indonesia. Mao Zedong juga meneruskan penggunaan kata Zhonghua untuk negara Republik Rakyat Tiongkok (Zhonghua Renmin Gongheguo) yang diproklamasikan pada tahun 1949.
Pembicaraan mengenai Tionghoa di Indonesia biasanya meliputi percaturan orang-orang Tionghoa dalam politik, sosial dan budaya di Indonesia. Kebudayaan Tionghoa merupakan salah satu pembentuk dan bagian integral yang tak terpisahkan dari kebudayaan nasional Indonesia sekarang ini. Kebudayaan Tionghoa di Indonesia walau berakar dari budaya leluhur, namun telah sangat bersifat lokal dan mengalami proses asimilasi dengan kebudayaan lokal lainnya.
Akibat tekanan rezim Orde Baru, banyak dari antara orang Tionghoa telah menanggalkan nama aslinya dan menggunakan nama-nama lokal, meskipun secara diam-diam masih memakainya untuk kegiatan di kalangan mereka. Namun seiring dengan terjadinya Reformasi, tanpa rasa takut mereka kembali menggunakan nama Tionghoa mereka, meskipun masih banyak yang enggan memakainya kembali.










II. SISTEM RELIGI DAN KEPERCAYAAN
Agama
Sebagian besar Budha, Kong Hu Cu dan Kristen. Minoritas yang beragama Islam



Dewi Kwan Im (Guan Ying). Kwan Im adalah salah satu Dewi dalam agama tradisional Tionghoa.
Kepercayaan tradisional Tionghoa ialah tradisi kepercayaan rakyat yang dipercayai oleh kebanyakan bangsa Tionghoa dari suku Han. Kepercayaan ini tidak mempunyai kitab suci resmi dan sering merupakan sinkretisme antara beberapa kepercayaan atau filsafat antara lain Buddhisme, Konfusianisme dan Taoisme. Kepercayaan tradisional Tionghoa ini juga mengutamakan lokalisme seperti dapat dilihat pada penghormatan pada datuk di kalangan Tionghoa di Sumatera sebagai pengaruh dari kebudayaan Melayu.
Secara umum, kepercayaan tradisional Tionghoa mementingkan ritual penghormatan yaitu:
• Penghormatan leluhur: Penghormatan kepada nenek moyang merupakan intisari dalam kepercayaan tradisional Tionghoa. Ini dikarenakan pengaruh ajaran Konfusianisme yang mengutamakan bakti kepada orang tua termasuk leluhur jauh. Dilakukan dengan cara penyembahan dari orang yang masih hidup kepada para leluhur mereka yang nama-namanya diletakkan di atas meja abu—sudut di dalam rumah tempat memperingati dan memuja leluhur keluarga
• Penghormatan dewa-dewi: Dewa-dewi dalam kepercayaan tradisional Tionghoa tak terhitung jumlahnya, ini tergantung kepada popularitas sang dewa atau dewi. Mayoritas dewa atau dewi yang populer adalah dewa-dewi yang merupakan tokoh sejarah, kemudian dikultuskan sepeninggal mereka karena jasa yang besar bagi masyarakat Tionghoa di zaman mereka hidup. Kegiatan pemujaan kepada para dewa yang biasanya dilakukan di rumah maupun di klenteng.Selain itu, pada saat tertentu, seperti pada hari , para dewa diarak dengan sangat meriah dari klenteng-klenteng untuk berkeliling kota.

Kepercayaan tradisional ini sebenarnya bukanlah suatu agama tertentu seperti yang menjadi kesalahpahaman dan salah kaprah mayoritas pemeluk agama lainnya. Kepercayaan di dalam bahasa Mandarin disebut sebagai Xin4 Yang3, dan agama disebut sebagai Zong1 Jiau4. Ada orang yang menyebut kepercayaan tradisional ini sebagai Tri-Dharma (Sam Kau = hokkian, Shan1 Jiau4 = mandarin) yaitu gabungan antara Taoisme, Konfusianisme dan Buddhisme. Ada pula yang mengklaim kepercayaan tradisional ini sebagai agama Khonghucu.
Kepercayaan tradisional adalah hal yang telah ada jauh sebelum agama eksis dan merupakan bagian dari budaya (sinkretisme budaya), malah mempengaruhi bentuk dan transformasi ketiga agama tadi dalam batas2 tertentu. Di zaman dulu, ada atau tidaknya agama leluhur orang Tionghoa, mereka tetap akan memegang teguh kepercayaan tradisional ini
Pandangan terhadap alam semesta dalam kepercayaan tradisional.Sejarah kebudayaan Tionghoa seperti kebudayaan kuno lainnya juga dimulai dengan mitologi2. Di zaman dahulu kala, leluhur orang Tionghoa menganggap bahwa sebelum dunia ini terbentuk, langit (Tian1) dan bumi (Di4) merupakan satu kesatuan yang disebut dengan keadaan tidak berbentuk atau chaos (Hun4 Dun4). 18 ribu tahun kemudian, seorang bernama Pan2 Gu3 mulai memisahkan langit dan bumi. Setiap hari, langit bertambah tinggi 3.3 meter, bumi bertambah tebal 3.3 meter dan Pan Gu bertambah tinggi 3.3 meter. Demikian seterusnya 18 ribu tahun berlalu dan langit telah sangat tinggi, bumi telah sangat tebal. Setelah Pan Gu wafat, anggota tubuhnya kemudian menjadi matahari dan bulan, gunung dan laut, sungai dan danau.
Inilah yang disebut sebagai legenda Pan Gu memisahkan langit dan bumi (Pan2 Gu3 Kai1 Tian1 Di4) dan Pan Gu juga mendapat gelar Raja Langit Pertama (Yuan2 Shi3 Tian1 Wang2). Jadi, sebenarnya juga ada mitologi penciptaan di dalam kepercayaan tradisional Tionghoa, cuma Pan Gu adalah tetap merupakan sosok manusia yang kemudian menjadi tokoh legendaris yang tidak pernah di-Tuhan-kan.
Di kemudian hari, dalam mitologi bangsa Tionghoa juga ada tokoh legendaris Nu3 Wa1 yang dikenal sebagai ibu pertama dari bangsa Tionghoa menciptakan manusia dan menambal langit yang bocor. Fu2 Xi1 yang mengajarkan cara membuat jala dan menangkap ikan, beternak dan berburu, menciptakan Ba1 Gua4 (8 diagram) dan Shen2 Nung2 yang mengajari cara bertani, ahli obat2 tradisional dan memperkenalkan minuman teh.
Di masa ini, leluhur orang Tionghoa menganggap bahwa alam semesta ini terbagi atas 2 bagian yaitu langit dan bumi. Namun sampai pada munculnya Taoisme dan masuknya Buddhisme ke Tiongkok, bagian alam semesta tadi berkembang menjadi yang sekarang kita kenal yaitu 3 bagian yang terdiri dari alam Langit (Tian1 Jie4), alam Bumi (Ming2 Jie4) dan alam Baka (You1 Jie4).

Tiga Alam
Konsep tiga alam adalah inti dari kepercayaan tradisional Tionghoa. Leluhur orang Tionghoa percaya bahwa tiga alam ini mempunyai peranannya masing2 dalam menjaga keseimbangan alam semesta ini. Ketiga alam ini tidak dapat dipisahkan dan berdiri sendiri tanpa kedua alam lainnya.
Alam Langit (Tian1 Jie4) adalah menunjuk pada alam yang didiami dan menjadi tempat kegiatan para raja2 Langit (Tian1 Wang2) dan dewa-dewi langit (Tian1 Shen2). Alam ini dianggap sebagai pusat pemerintahan alam semesta, yang mengatur seluruh kehidupan di alam bumi. Orang2 besar yang berjasa di bidangnya masing2 terhadap masyarakat Tionghoa di zamannya dapat naik menjadi dewa-dewi di alam Langit. Nenek moyang dalam mitologi seperti Nu Wa, Fu Xi dan Shen Nung serta kaisar2 legendaris seperti Yao2, Xun4 dan Yu3 adalah bertempat tinggal di sana bersama dengan dewa-dewi pejabat pemerintahan langit lainnya yang akan diterangkan lebih lanjut dalam bagian yang lain.
Alam Bumi (Ming2 Jie4) adalah menunjuk pada bumi tempat kita berada, yang menjadi tempat tinggal dan tempat kegiatan dari seluruh makhluk hidup. Dewa-dewi dan pejabat di alam Langit bertanggung jawab melaksanakan tugas pemerintahan mereka di alam Bumi. Juga disebut sebagai Yang2 Jian1 ataupun Ren2 Jian1.
Alam Baka (You1 Jie4) adalah menunjuk pada alam di bawah bumi ataupun alam sesudah kematian, yaitu alam yang menjadi tempat domisili dan kegiatan dari roh2 (Ling2) dan hantu2 (Gui3) dari manusia setelah meninggal dunia. Di alam ini, ada sekelompok dewa dan pejabat alam yang khusus memerintah di alam ini. Dalam kepercayaan tradisional, leluhur orang Tionghoa mempercayai bahwa kehidupan setelah meninggal adalah lebih kurang sama dengan kehidupan manusia di dunia ini. Di alam ini, setiap orang akan menjalani pengadilan yang akan membawa kepada hadiah maupun hukuman dari dewa dan pejabat di alam ini. Alam Baka keseluruhan berjumlah 10 Istana Yan Luo (Shi2 Dian4 Yan2 Luo2) dan 18 Tingkat Neraka (Shi2 Ba1 Ceng2 Di4 Yu4).
Dalam perkembangannya, kepercayaan mengenai alam Baka ini kemudian terpengaruh oleh konsep reinkarnasi dari Buddhisme yang ditandai dengan kepercayaan bahwa roh yang hidup di alam Baka kemudian akan terlahir kembali ke dunia sebagai manusia setelah lupa akan kehidupan sebelumnya dengan meminum sup Meng4 Po1 dan melewati jembatan Nai4 He2. Perbedaan yang mendasar adalah bahwa kepercayaan tradisional ini menganggap manusia hanya akan terlahir kembali sebagai manusia dan tidak sebagai makhluk lainnya.
Buddhism ke Tiongkok , terjadi transformasi Buddhism yang memiliki ciri khas tersendiri.
Sejak masuknya
1. Buddha Contohnya adalah Sakyamuni Buddha , Bhaisajyaguru Buddha , Amitabha Buddha, Dipankara Buddha . Dari segala Buddha , yang terkenal dan amat dipuja adalah Amitabha Buddha. Bahkan sampai ada istilah Setiap rumah ada Guan Yin , setiap mulut menyebut Amitabha. 1.2 Bunda Buddha atau Fo Mu misalnya Da Bai Gai shan Fo Mu
2. Bodhisatva Bodhisatva merupakan dewa yang amat sangat banyak dipuja oleh orang- orang Tionghua , terutama Avalokitesvara Bodhisatva yang dipercaya menolong manusia dan welas asih. Selain itu masih ada bodhisatva lainnya seperti Ksitigarbha bodhisatva, Manjusri Bodhisatva, Maha Cundi Bodhisatva dan lain-lain. Rata-rata bodhisatva memiliki metta karuna untuk menyelamatkan segala mahluk.
3. Pelindung Dharma. Dewa pelindung dharma kadang suka rancu menjadi bodhisatva. Qie Lan Pu Sa yang sering disebut orang , padahal merupakan kumpulan dari 18 shan shen .Lebih tepat menyebutnya Qie Lan Shen . Figur Qie Lan dalam Buddhisme Tiongkok adalah tokoh pahlawan terkenal Guan YunZhang . Qie Lan Shen adalah pelindung umat Buddhism. Yang lain adalah Wei Tuo Shen atau kadang sering disebut Wei Tuo Pusa , Wei Tuo Tian . Dipercaya Beliau merupakan pelindung vihara. Selain yang diatas masih ada lagi yang disebut Tian Long Ba Bu , tapi ingat yang dimaksud Tian Long Ba Bu itu bukan cerita silat karangan Jin Yong. Yang tercakup adalah: a. Tian Zhong ,dewa-dewa yang dilangit seperti Da Fan Tian , Di Shi Tian dan lain-lain. b.Long Zhong , misalnya Nan Tuo Long Wang c.Ye Cha d.Gan Tha Po e. A Xiu Luo f.Jia Lou Luo g.Jin Na Luo h.Mo Hou Luo Jia
4. Raja Langit Dari banyak raja langit dalam Buddhism , ada 4 yang terkenal yaitu 4 raja langit yang berkuasa di 4 arah.
5. murid Sidharta Gautama yang terkenal. ada beberapa murid Gautama Buddha yang kemudian juga diangkat menjadi dewa Tiongkok , misalnya Mu Lian Zun Zhe
6. Arahat Disamping murid-murid Buddha yang menjadi arahat yang kadang disebut Zun Zhe masih ada 18 arahat yang menjadi ciri khas Buddhisme Tiongkok. Yang menarik disini adalah ada kaisar Liang Wu Di yang menjadi arahat, selain itu adalah BodhiDharma ,Ji Gong , Fu Hu , xiang long dan lain-lain.
7. Para sesepuh Buddhisme di Tiongkok. Misalnya Qing Shui Zu Shi , Xuan Zang , Pu An , Dao Ji
8. Ming Wang Banyak Ming Wang tercakup , dan menurut saya Ming Wang tidak dapat dimasukkan kedalam kategori Bodhisatva. Bu Dong Ming Wang atau Acalanatha , Kong Que Ming Wang atau Maha maruya vidya rajni , Da Wei De Ming Wang atau Yamantaka dan lain-lain.

Ajaran kongfusius
Ajaran Kongfusianisme atau Kong Hu Cu ( Kong Fu Tse atau Kongfusius) dalam bahasa Tionghoa istilah aslinya adalah Rujiao yang berarti agama dari orang-orang yang lembut hati, terpelajar, dan berbudi luhur. Kong Hu Cu memanglah bukan pencipta agama ini melainkan beliau hanyalah menyempurnakan agama yang sudah ada jauh sebelum kelahiran nya seperti apa yang beliau sabdakan: ”Aku bukanlah pencipta melainkan Aku suka akan ajaran-ajaran kuno tersebut.”
Meskipun orang kadang-kadang mengira bahwa Kong Hu Cu adalah merupakan suatu pengajaran filsafat untuk meningkatakan moral dan menjaga etika manusia. Sebenarnya kalau orang mau memahami secara benar dan utuh tentang Ru Jiao atau agama Kong Hu Cu, maka orang akan tahu bahwa dalam agama Kong Hu Cu juga terdapat ritual yang harus dilakukan oleh penganutnya. Agama Kong Hu Cu juga mengajarkan tentang bagaimana hubungan antar sesama manusia dan disebut ” Ren Dae ” dan bagaimana kita melakukan hubungan dengan Sang Khalik / Pencipta Alam Semesta ( Tian Dao) yang disebut dengan istilah ” Tian ” atau ” Shang Di ”.
Ajaran Falsafah ini diasasakan oleh Kong Hu Cu yang dilahirkan pada tahun 551 SM di Chiang Tsai yang saat itu berumur 17 tahun. Seorang yang bijak sejak masih kecil dan terkenal dengan penyebaran ilmu-ilmu baru ketika berumur 32 tahun. Kong Hu Cu banyak menulis buku-buku moral, sejarah, kesusastraan dan falsafah yang banyak diikuti oleh penganut ajaran ini. Beliau meninggal pada tahun 479 SM.

Ajaran Agama Taoisme
Tao ( ) tidak berbentuk, merupakan "Sesuatu" yang sudah ada sebelum semuanya ada. Arti Tao sulit dipahami, artinya sangat luas sehingga sulit diterangkan secara jelas dan rinci melalui sebuah kalimat atau kata-kata. Arti Tao yang paling sederhana adalah "Jalan". Ada juga yang mengartikannya "Kelogisan", "Hukum", "Pedoman" atau "Aturan"
Agama Tao ( ) adalah agama tertua di dunia. Merupakan agama yang berke-Tuhanan, yaitu mengakui dan menyembah adanya Thian Kung / Ie Wang Ta Ti / Yang Maha Kuasa / Tuhan. Selain Thian Kung, masih banyak lagi Dewa-Dewi yang disembah, seperti Guan Gong / Kwan Kong ( ), Er Lang Shen ( ), Jiu Tian Xuan Nu ( ) dan lain-lain .
Agama Tao merupakan Agama yang berasal dari Tiongkok. Dari data-data yang ada, maka Agama Tao termasuk agama yang tertua di dunia ini, umumnya diakui sudah ada sejak 7000 tahun yang silam, dan juga merupakan agama yang dianut oleh sebagian besar orang Tionghoa, ini tercermin dari tulisan LU XUN seorang budayawan kondang, dimana beliau menulis bahwa Agama Tao adalah agama dan akar utama dari kebudayaan Tionghoa
AGAMA TAO menggunakan BA KUA DAI CHI sebagai lambang agamanya, dimana gambar DAI CHI melambangkan matahari dan bulan, juga melambangkan Yin Yang serta melambangkan posisi Atas dan Bawah, sedangkan BA KUA melambangkan segala sesuatu yang ada di alam semesta ini, juga melambangkan segala arah yang berarti 4 penjuru 8 arah.
Cara perhitungan hari / penanggalan dalam kehidupan sehari-hari umat Agama TAO, umumnya menggunakan penanggalan IMLEK yang merupakan hasil karya tokoh Agama TAO yang bernama Khuang Cheng Zi sejak 2703 tahun yang lalu.
Dalam ajaran agama Tao ( ), kita menghormati Dewa-Dewi. Hal ini menyebabkan banyak berdiri kelenteng-kelenteng yang didirikan untuk memuja Dewa-Dewi. Tujuan utama berdirinya kelenteng adalah sebagai tempat pemujaan dimana masyarakat yang percaya meletakkan patung dari Dewa-Dewi dan menghormatinya. Sebagai sarana untuk mengingat tauladannya dalam kehidupan sehari-hari. Selalu menolong sesamanya. Itulah sebenarnya tujuan utama didirikannya kelenteng.

Delapan Dewa ( Tiongkok)

Delapan dewa atau dalam bahasa Mandarin disebut Ba Xiang berasal dari Mitologi Taoisme, dan termasuk dewa-dewi terkenal dalam kisah klasik Tionghoa. Mereka adalah symbol keberuntungan bagi masyarakat Tionghoa. Masing-masing Dewa mewakili 8 kondisi kehidupan: anak muda, lansia, kemiskinan, kekayaan, rakyat jelata, ningrat, pria, dan wanita. Diceritakan bahwa sebagian besar dilahirkan di zaman dinasti Tang dan dinasti Sung. Walaupun penjelasan mengenai mereka telah ada sejak dinasti Tang, namun pengelompokan ke dalam kategori delapan dewa baru terjadi pada masa dinasti Ming. Kedelapan dewa tersebut adalah:
 Zhong li Quan
 Li tie guai
 Lu dong bin
 Zhang guo lao
 He xiang gu
 Lan cai he
 Han xiang zi
 Cao gao jiu
Delapan dewa tersebut adalah salah satu tema favorit dari seniman-seniman Tiongkok dan kebanyakan menjadi objek yang digambarkan dalam keramik dan porselen. Mereka juga banyak muncul dam literatur tiongkok.

Asal Usul Adanya Sam Seng Dan Persembahan Pada Dewa
Pada jaman dahulu sudah banyak orang-orang yang datang ke klenteng mencari Tao Se - Tao Se (Guru-guru Tao) untuk meminta bantuan atau pertolongan. Ada yang menanyakan nasib dan jodoh mereka, dan ada juga untuk penyembuhan penyakit-penyakit serta meminta obat-obatan.
Tetapi pada bulan-bulan tertentu Tao Se - Tao Se itu tidak ada di klenteng karena mencari obat-obatan di hutan atau di pegunungan, seperti ginseng, jamur, dan lain-lainnya. Dalam pencarian obat ini dibutuhkan waktu berbulan-bulan lamanya.
Untuk itu para Tao Se membuat Sam Seng supaya masyarakat atau orang-orang yang datang dari jauh tidak kecewa karena Tao Se nya tidak berada di tempat.
Masyarakat yang tertolong kemudian membawa oleh-oleh untuk Tao Se - Tao Se tersebut sebagai tanda terima kasih. Karena Tao Se - Tao Se tidak berada di tempat, maka diletakkan di atas meja sembahyang. Ada juga yang datang membawa persembahan kepada Dewa.
Dari sinilah timbulnya kebiasaan mempersembahkan sesuatu kepada Dewa. Pemberian persembahan kepada Dewa ini kemudian menimbulkan persaingan di antara masyarakat itu sendiri, sehingga timbullah persembahan Sam Seng.
Di mana menurut pandangan masyarakat waktu itu Sam Seng mewakili 3 jenis hewan di dunia, yaitu babi untuk hewan darat, ikan untuk hewan laut, dan ayam untuk hewan udara. Demikianlah persembahan ini berlangsung secara turun-menurun sampai sekarang pun masih ada.
Jadi cukup dengan buah-buahan saja, antara lain: apel, pear, jeruk, anggur, dll. Yang penting adalah buah-buahan yang segar dan tidak berduri serta serasi dipandang mata.

Hu
Hu atau jimat merupakan sesuatu yang dipercaya akan memberikan sesuatu efek / keajaiban yang bermanfaat kepada penggunanya. Penggunanya adalah para umat Taoisme an sebagian besar umat Budha Mahayana. Hu biasanya dituliskan dalam sebuah kertas atau kain dengan ukuran tertentu yang berwarna kuning, hijau, putih atau merah. Seiap warna ada perbedaan dalam meggunakannya. Hu dibuat oleh Tatung atau seorang yang mengerti ilmu Taoismedengan mengukir tulisan / aksara / mantra yang kemudian diberkati dengan mantra lisan dan stempel dewa tertentu. Hu biasanya dibuat di depan altar Dewa.
Keperluan Hu bermacam-macam, hu diminum dibuat dengan menggunakan kertas warna kuning; warna hijau untuk keperluan umum seperti hu anti maling; hu pelindung tubuh;hu anti mahluk halus dan lain-lain. Sedangkan warna warna merah biasanya dipakai untuk membuat hu pelaris untuk usaha dagang. Warna putih jarang digunakan karena hanya aliran Taoisme tertentu yang menggunakannya.
Dalam penggunaanya, hu bisa dibakar,ditempel atau dilipat dan ditaruh ke tempat yang telah ditentukan. Hu juga mempunyai batas waktu manfaat, rata-rata adalah 1 tahun, dan dapat lagi diisi kekuatannya agar manfaatnya bekerja lagi.

Imlek: Antara Perayaan Budaya dan Perayaan Agama
Perdebatan mengenai soal apakah Imlek ritus keagamaan atau bukan keagamaan, bukanlah barang baru. Imlek adalah hari yang dirayakan secara meriah dan besar-besaran oleh seluruh orang Tionghoa, bukan saja yang tinggal di Tiongkok,Taiwan, dan Hong Kong,tetapi oleh mereka yang berada di wilayah lain di seluruh dunia.
Imlek adalah hari pergantian tahun berdasarkan penanggalan Imlek (dalam bahasa Mandarin Yinli), yang perhitungannya didasarkan pada perputaran bulan. Rangkaian acara yang dilaksanakan oleh orang Tionghoa dalam menyambut tahun baru ini berlangsung selama kurun waktu sekitar dua pekan. Ritual itu diawali perayaan Imlek itu sendiri, yang jatuh pada tanggal satu bulan satu, dan diakhiri dengan keriaan pada hari ke-15 yang di Indonesia dikenal sebagai perayaan cap go meh.
Seperti juga tradisi di kalangan etnis Tionghoa yang tinggal di wilayah dunia lain, di Indonesia Imlek biasanya disambut dengan pesta besar-besaran.Perhelatan ini biasanya mencakup pula rangkaian upacara keagamaan yang dilaksanakan di klenteng atau bio. Rangkaian upacara ini biasanya diikuti oleh acara pawai mengarak dewa-dewa mengelilingi kota sebelum akhirnya ditempatkan kembali di klenteng-klenteng asalnya.
Di Indonesia, acara ini dikenal dengan istilah gotong toapekong. Sejak pertengahan 1960-an, selama kurun waktu sekitar 30 tahun,kemeriahan Imlek di Indonesia terputus dengan adanya berbagai peraturan yang mengatur dan mengawasi kehidupan orangorang Tionghoa di Indonesia. Salah satu di antaranya, Instruksi Presiden No 14/1967 tentang Agama, Kepercayaan dan Adat Istiadat orang Tionghoa di Indonesia. Peraturan itu membatasi acara-acara yang berkaitan dengan agama dan adat istiadat orang Tionghoa di luar rumah ibadat mereka.
Selain itu, untuk memperketat pengawasan, Pemerintah Orde Baru mengategorikan agama dan tradisi Tionghoa,seperti Kong Hu Cu dan Tao, sebagai agama Buddha dan semua klenteng dikonversi menjadi vihara, tempat para pemeluk Buddha melakukan ritual agama mereka.Tentu saja dengan sendirinya acara gotong toapekong dan berbagai acara meriah lain, seperti permainan barongsai, tidak lagi dilakukan,paling tidak secara terbuka.
Perubahan politik Indonesia sejak pascakrisis ekonomi 1997 telah mengembalikan praktik perayaan Imlek seperti sedia kala. Para penyelenggara negara pasca-Orde Baru kini bersedia mengizinkan adanya perayaan Imlek dan praktik keagamaan Tionghoa secara lebih terbuka. Kelonggaran yang diberikan kepada masyarakat Tionghoa ini muncul dengan keluarnya keputusan tentang pencabutan Instruksi Presiden No 14/1967 di atas oleh Keputusan Presiden No 6/2000 yang ditandatangani Presiden Abdurrahman Wahid.
Langkah yang diambil pemerintahan Wahid itu mengakibatkan Imlek yang pada waktu itu jatuh bersamaan dengan pergantian milenium, kembali dirayakan dengan meriah.Tak lama kemudian, kegembiraan dan kemeriahan tersebut mencapai puncaknya ketika Presiden Megawati menyatakan Imlek sebagai hari libur nasional yang dianggap sejajar dengan hari-hari libur nasional lain.
Namun, keputusan pemerintah untuk menjadikan Imlek sebagai hari raya nasional telah mendatangkan tanda tanya baru,walaupun isunya sudah ada sejak lama.Pertanyaan yang muncul umumnya didasarkan pada asumsi bahwa hari libur nasional yang terkait dengan agama biasanya merupakan hari raya dari agama-agama yang ada di Indonesia dan diakui oleh pemerintah. Karenanya, pertanyaan mengenai apakah Imlek hari raya agama tertentu atau hari raya orang Tionghoa secara keseluruhan, muncul kembali.

Tradisi Perayaan Imlek
Pendapat umum mengatakan, perayaan Imlek tak lain sebagai bagian dari kegiatan pemeluk agama Kong Hu Cu. Pendapat itu sebenarnya kurang tepat, mengingat perayaan Imlek sesungguhnya sudah menjadi tradisi Tionghoa sejak jauh hari sebelum Kong Hu Cu (Kong Fuzi) lahir.
Sebagai sebuah bangsa yang tinggal di negeri dengan musim dingin yang sangat ”menggigit”, orang Tionghoa sangat menghargai berakhirnya musim itu dan menyambut dengan meriah dimulainya musim semi. Periode pergantian musim itu mereka rayakan dengan penuh suka cita dan kebetulan perayaan pergantian musim ini jatuh bertepatan dengan pergantian tahun kalender Tiongkok, yaitu tahun Imlek (Yinli). Sebab itu, perayaan tersebut, selain dikenal sebagai pesta musim semi (Chunjie), juga disebut perayaan Imlek.
Dalam merayakan Imlek, kegiatan yang dilakukan bukan hanya pesta pora semata, melainkan juga ada rangkaian aktivitas yang mengandung makna sesuai dengan tradisi. Kegiatan tersebut mencakup hubungan antarmanusia dan hubungan antara manusia dengan kekuatan supranatural. Faktor hubungan antarmanusia terlihat pada saat mereka menjadikan hari besar itu sebagai momen untuk mengunjungi sanak saudara dan handai tolan untuk bersilaturahmi.
Hal yang umum dilakukan adalah kunjungan dari anak-anak pada orangtuanya, di mana si anak biasanya datang untuk melakukan penghormatan pada orangtua atau orang yang lebih tua. Sebaliknya, orang tua yang dikunjungi biasanya memberikan hadiah berupa amplop merah (angpao) yang berisi uang atau perhiasan pada sang anak ataupun mereka yang lebih muda. Dalam tradisi orang Tionghoa di Indonesia, angpao biasanya hanya diberikan kepada anakanak muda yang belum menikah.
Secara umum, kegiatan bersilaturahmi di atas juga diperluas dengan kunjungan dari sanak saudara yang berusia lebih muda kepada mereka yang lebih tua. Sering kali, orang-orang lebih muda yang masih satu keluarga berkumpul di rumah orang yang paling tua dari keluarga tersebut dan mengadakan perjamuan makan dan melakukan ritual agama.
Bila diperhatikan, kegiatan yang berkenaan dengan penghormatan orang muda pada orang yang lebih tua, saling memberi selamat dan saling memberi hadiah, ini banyak kesamaannya dengan hari raya Idul Fitri. Mungkin, itulah sebabnya di kalangan masyarakat Indonesia, Imlek populer dengan sebutan ”Lebaran Cina”. Hubungan antara manusia dengan kekuatan supranatural dapat dilihat dari kegiatan yang bersifat keagamaan.
Ada dua hal yang biasanya dilakukan berkaitan dengan ritual agama ini. Pertama, penyembahan dari orang yang masih hidup kepada para leluhur mereka yang nama-namanya diletakkan di atas meja abu—sudut di dalam rumah tempat memperingati dan memuja leluhur keluarga. Kemudian ada juga kegiatan pemujaan kepada para dewa yang biasanya dilakukan di rumah maupun di klenteng.Selain itu, pada saat tertentu, seperti pada hari cap go meh, para dewa diarak dengan sangat meriah dari klenteng-klenteng untuk berkeliling kota.
Berbagai kegiatan di atas telah dilakukan masyarakat Tionghoa di Indonesia sejak ratusan tahun lalu. Bahkan, selama Orde Baru, ketika pemerintah sangat membatasi kegiatan keagamaan mereka, ritual tersebut tetap dilaksanakan di lingkungan terbatas. Kegiatan yang mempererat silaturahmi tentu dapat dilakukan di rumah, sedangkan kegiatan pemujaan, selain di rumah, juga dilakukan di dalam vihara. Dapat dikatakan, selama Orde Baru berkuasa, vihara menjadi tempat di mana tradisi Tionghoa yang mengandung unsurunsur Budha,Tao, dan Kong Hu Cu (disebut juga sebagai San Jiao/San Kauw) berlindung atau terpelihara.(*)

Persatuan Islam Tionghoa Indonesia (PITI),
Pembina Iman Tauhid Islam adalah sebuah organisasi Islam. Organisasi ini didirikan di Jakarta pada tanggal 14 April 1961. PITI tidak bertalian dengan organisasi sosial politik manapun. Ketua PITI saat ini adalah H. Trisno Adi Tantiono, yang terpilih pada tahun 2005.
Program PITI adalah menyampaikan tentang (dakwah) Islam khususnya kepada masyarakat keturunan Tionghoa dan pembinaan dalam bentuk bimbingan, kepada muslim Tionghoa dalam menjalankan syariah Islam baik di lingkungan keluarganya yang masih non muslim dan persiapan berbaur dengan umat Islam di lingkungan tempat tinggal dan pekerjaannya serta pembelaan/ perlindungan bagi mereka yang karena masuk agama Islam, untuk sementara mempunyai masalah dengan keluarga dan lingkungannya.
PITI sebagai organisasi dakwah sosial keagamaan yang berskala nasional berfungsi sebagai tempat singgah, tempat silahturahmi untuk belajar ilmu agama dan cara beribadah bagi etnis Tionghoa yang tertarik dan ingin memeluk agama Islam serta tempat berbagi pengalaman bagi mereka yang baru masuk Islam.
Persatuan Islam Tionghoa Indonesia (PITI) didirikan di Jakarta, pada tanggal 14 April 1961, antara lain oleh Abdul Karim Oei Tjeng Hien, Abdusomad Yap A Siong dan Kho Goan Tjin. PITI merupakan gabungan dari Persatuan Islam Tionghoa (PIT) dipimpin oleh Alm Abdusomad Yap A Siong dan Persatuan Muslim Tionghoa (PMT) dipimpin oleh Kho Goan Tjin. PIT dan PTM yang sebelum kemerdekaan Indonesia mula-mula didirikan di Medan dan di Bengkulu, masing-masing masih bersifat lokal sehingga pada saat itu keberadaan PIT dan PTM belum begitu dirasakan oleh masyarakat baik muslim Tionghoa dan muslim Indonesia.
Karena itulah, untuk merealisasikan perkembangan ukhuwah Islamiyah di kalangan muslim Tionghoa, maka PIT yang berkedudukan di Medan dan PTM yang berkedudukan di Medan merelakan diri pindah ke Jakarta dengan bergabung dalam satu wadah yakni PITI.
PITI didirikan pada waktu itu, sebagai tangapan realistis atas saran Ketua Pengurus Pusat Muhammadiyah K.H. Ibrahim kepada Abdul Karim Oei bahwa untuk menyampaikan agama Islam kepada etnis Tionghoa harus dilakukan oleh etnis Tionghoa yang beragama Islam.
Dalam perjalanan sejarah keorganisasiannya, ketika di era tahun 1960-1970 an khususnya setelah meletusnya Gerakan 30 September (G-30-S) di mana di saat itu Indonesia sedang menggalakkan gerakan pembinaan persatuan dan kesatuan bangsa, nation and character building, simbol-simbol/identitas yang bersifat disosiatif (menghambat pembauran) seperti istilah, bahasa dan budaya asing khususnya Tionghoa dilarang atau dibatasi oleh Pemerintah, PITI terkena dampaknya yaitu nama Tionghoa pada kepanjangan PITI dilarang. Berdasarkan pertimbangan kebutuhan bahwa gerakan dakwah kepada masyarakat keturunan Tionghoa tidak boleh berhenti, maka pada tanggal 15 Desember 1972, pengurus PITI, merubah kepanjangan PITI menjadi Pembina Iman Tauhid Islam.
Pada bulan Mei 2000, dalam rapat pimpinan organisasi menetapkan kepanjangan PITI dikembalikan menjadi Persatuan Islam Tionghoa Indonesia.
Mulai banyaknya pembangunan masjid-masjid berarsitektur Tiongkok mengikuti jejak pendirian Masjid Cheng Ho di Surabaya, seperti di Purbalingga, Masjid Ja’mi An Naba KH Tan Shin Bie di Purwokerto, di Kota Palembang Masjid Cheng Ho Sriwijaya dan Kota Semarang, Masjid Cheng Ho Jawa Tengah dan Islamic Center di Kota Kudus.

Klenteng

Istilah klenteng hanya ditemui di Indonesia. Diperkirakan istilah ini berasal dari bunyi instrumen sembahyang (lonceng/genta) yang berbunyi teng-teng. yang kemudian oleh penduduk sekitar dipakai untuk menyebut tempat sembahyang tersebut sebagai Kelenteng. Pendapat lain yang mengatakan bahwa Kelenteng berasal dari Kuan Im Ting (Mandarin: GuanYinTing). Pendapat ini lemah karena terlalu dipaksakan. Selain itu, tidak semua kelenteng mempunyai altar untuk memuja Kuan Im
Ada juga yang mengatakan bahwa istilah kelenteng berasal dari minyak biji kapuk yang disebut lenteng. Argumen ini lemah karena tidak semua pelita di kelenteng menggunakan minyak biji kapok (bahkan sedikit yang menggunakan minyak biji kapok).
1. Asal muasal menurut makna dan fungsi
Sejarah mencatat kata untuk kelenteng dalam bentuk awalnya adalah huruf BIO (MIAO) yang muncul dalam NgoKing (WuJing) maupun SuSi (SiShu) sebagai tempat ibadah kepada Tian (langit), Di (bumi), dan leluhur. Menurut SuHai (CiHai) mengacu SuGuan (CiYuan) , menyimak SuHue (CiHui), BIO terdiri dari dua radikal yaitu: menyatakan tempat terbuka (bandingkan dengan radikal wei yang berarti di dalam atau radikal bian [bagian atas karakter jia (rumah) yang berarti menaungi,melukiskan batasan dari waktu (untuk hari: pagi/fajar, untuk: hidup: awal) yang menyatakan mula, dini, ke arah,menghadap, suatu kiblat.
Sehingga, BIO berarti: tempat terbuka (umum) untuk tidak melupakan asal-usul atau cikal-bakal yang berhubungan dengan awal dan akhir. Dengan melihat uraian tentang peribadatan bisa ditelusuri bagaimana ini kemudian menjadi CoBio (ZuMiao) , lalu Su (Ci). Dalam perkembangannya bio yang merupakan tempat sembahyang kepada Langit, Bumi, dan Leluhur, juga menjadi sarana ibadah agama Ji To Sek (RuDaoShi) (artinya: Agama Khonghucu, Taoisme, Buddhisme). Pengaruh agama RuDaoShi ini menjadi landasan umat SamKao (SanJiao,Tridharma), yang melengkapi bio dengan SinBing (ShenMing) , Sian (Xian) dan Hud (Fo). Kemudian, seiring perjalan waktu, Bio mengalami derivatif makna dan fungsi. Walaupun demikian asal-muasal dan pengertian dasarnya perlu dijaga supaya kebenaran yang sebenarnya tidak terlupakan.

2. Perkembangan kelenteng dalam macam dan jenis
Secara fisik sejak semula memang ada sebutan untuk membedakan kelenteng yang ada:
Kiong (Gong) bangunannya megah (besar), dibangun oleh raja/pejabat/pembesar, dengan makna dan fungsi yang luas daripada Bio Su (Ci) dibangun oleh marga/keluarga lebih untuk menghormati leluhur Sementara Bio tetap dipergunakan sebagai tempat ibadah/sembahyang yang baku. Kemudian makna dan fungsi terus berkembang, dan istilah kelentengpun mengikuti perkembangan sesuai dengan macam dan jenis, diantaranya: Bila ada pelajaran, taman baca, atau taman komunikasi sosial: Yni (Yuan) terkadang juga ditulis Wan (Yuan) contoh: KimTekYi (JinDeYuan) di JakartaBila ada fungsi pelayanan keagamaan, upacara/ritual disebut: Tong (Tang). Bila berfungsi sebagai pendopo, tempat pemujaan disebut Ting (Ting). Bila berfungsi sebagai tempat pengasingan, menenangkan disebut An (An). Bila lebih sebagai sarana yang umum/kemasyarakatan disebut Kuan (Guan). Setelah masuknya Buddhisme, kelenteng yang berfungsi sebagai vihara disebut Si (Si) dan vihara untuk bhikshuni disebut Am (An). Ada juga nama yang dikaitkan dengan bentuk kuil seperti Tong (Dong) (=goa),contoh: SamPoTong (SanBaoDong) di Semarang kelenteng SamPoKong SamPoTaiJin. Bila bangunan kelentengnya didominasi pahatan bebatuan dinamakan Si (Shi) (=batu).
Sejak dinasti Tong (Tang) quot; ada klasifikasi yang lebih jelas, sehingga dikenal: Bagi Rujiao yang berdasarkan Te (Di) dan Co (Zu) ada Bio (Miao) dan Su (Ci). Bagi Daojiao yang lebih tinggi derajatnya disebut Kiong (Gong) dan yang lebih rendah disebut Kuan (Guan) Bagi Buddhisme, untuk bhikshu: Si (Si) dan untuk bhikshuni Am (An) Untuk SinBing (ShenMing) bila lebih menunjuk satu SinBing (sebagai pendopo). Bila jamak cenderung memakai nama Yni (Yuan)atau ada juga yang menggunakan huruf Wan (Yuan) .
Untuk Pelayanan keagamaan bisa:
• Yni (Yuan) taman baca/belajar
• Tong (Tang) tempat ibadah/upacara/ritual
• Kuan (Guan) sarana pelayanan kemasyarakatan
Kendati pembagian ini pada awalnya demikian, kemudian istilah -istilah ini tercampur baur, tidak ada lagi acuan baku, bahkan terkesan rancu.

III. SISTEM KEKERABATAN
a) Perkawinan
Perkawinan merupakan peristiwa menutup suatu masa tertentu di dalam kehidupan seseorang, yaitu masa bujang danmasa hidup tanpa beban keluarga. Orang Cina baru dianggap dewasa atau “menjadi orang”, bila ia telah menikah. Oleh Karena itu, upacara perkawinan haris mahal, rumit, dan agung. Upacara perkawinan orang Tionghoa Totok berbeda dengan upacara perkawinan orang Tionghoa Peranakan. Sampai saat ini perkawinan diatur oleh orang tua kedua belah pihak. Yang menjadi calon suami isteri tidak mengetahui calon pasangan hidupnya, mereka baru saliong melihat pada hari perkawinannya. Sekarang keadaan demikian sudah jarang terjadi.

b) Pantangan Pemilihan Jodoh
Dalam pemilihan jodoh orang tionghoa peranakan mempunyai pembatasan-pembatasannya. Perkawinan terlarang adalah antara orang-orang yang mempunyai nama keluarga, nama she, yang sama. Namun, kini perkawinan antara orang-orang yang mempunyai nama she yang sama tetapi bukan kerabat dekat dibolehkan. Perkawinan antara seorang laki-laki dengan seorang wanita yang masih ada hubungan kekerabatan tetapi dari generasi yang lebih tua dilarang. Sebaliknya, perkawinan seorang anak perempuan dengan seorang anggota keluarga dari generasi yang lebih tua (atas), dapat diterima. Hal ini disebabkan bahwa seorang suami tidak boleh lebih muda atau rendah tingkatnya dari isterinya.
Peraturan lainnya adalah seorang adik perempuan tidak boleh mendahului kakak perempuannya kawin. Akan tetapi, adik perempuan boleh mendahului kakak laki-lakinya kawin, demikian juga adik laki-laki boleh mendahului kakak perempuannya kawin. Apabila terjadi pelanggaran terhadap peraturan ini, si adik harus memberikan hadiah tertentu pada kakaknya yang didahului kawin itu.

c) Mas Kawin
Setelah seorang laki-laki memilih jodohnya dan merundingkan hari perkawinannya, orang tua pihak laki-laki mengantarkan ang-pao (bunkusan merah), yaitu uang yang dibungkus dengan kertas merah. Uang ini dinamakan uang tetek. Maksudnya untuk mengganti biaya yang dikeluarkan oleh orang tua gadis, untuk mengasuh dan membesarkannya. Namun , uang tetek ini biasanya ditolak karena dengan menerimanya, orang tua si gadis seolah-olah menjual anaknya, kecuali jika keluarga pihak perempuan berada dalam keadaan miskin.
Menjelang hari perkawinan, keluarga pihak laki-laki biasanya mengirim utusan ke rumah keluarga si gadis unuk menyampaikan uang ang-pao, beberapa potong pakian, dan perhiasan selengkapnya. Keluarga yang kaya akan menolak pemberian ini dengan halus, tetapi keluarga yang tidak mampu, biasanya akan menerima sebagian saja.

d) Adat Menetap Sesudah Menikah
Tempat tinggal setelah kawin bagi masyarakat Tionghoa adalah di rumah orang tua si suami. Hal ini erat kaitannya dengan tradisi Tionghoa sendiri, bahwa hanya anak laki-laki tertualah yang merupakan ahli waris dan yang akan meneruskan pemujaan terhadap leluhurnya. Putra-putra selanjutnya tidak terkat lagi dengan ketentuan-ketentuan tempat tinggal patrilokal ini. Mereka bebas memilih sendiri, apakah ingin menetap pada keluarga isteri (uxorilokal) atau pada keluarga sendiri (virilokal) atau tinggal di rumah sendiri yang baru (neolokal).

e) Bentuk Rumah Tangga
Berdasarkan sistem kekerabatan orang Tionghoa maka bentuk rumah tangganya adalah keluarga luas. Keluarga luas tionghoa ini, terbagi ke dalam dua bentuk yaitu :
1. Bentuk keluarga luas virilokal yang terdiri dari keluarga orang tua dengan hanya anak laki-laki tertua beserta isteri dan anak-anaknya dan saudaranya yang belum kawin.
2. Bentuk keluarga luas virilokal yang terdiri dari keluarga orang tua dengan anak-anak laki-laki beserta keluarga-keluarga batih mereka masing-masing
Kini karena pengaruh luar dari pendidikan sekolah, maka bentuk rumah tangga yang terdiri dari ayah, ibu dan anak-anak menjadi umum.

f) Kelompok Kekerabatan
Orang Tionghoa menganut sistem patrilineal. Kelompok kekerabatan terkecil bukanlah keluarga-batih, tetapi keluarga-luas yang virilokal. Karena itu hubungan dengan kaum kerabat pihak ayah adalah lebih erat, tetapi perkembangan sekarang menunjukkan hubungan antara keluarga ibu sama eratnya dengan pihak ayah.

g) Perceraian
Perceraian dalanm tradisi orang Tionghoa diizinkan dengan beberapa alasan. Meskipun demikian perceraiain jarang terjadi karena perceraian dianggap sebagai perbuatan tercela dan akan mencemarkan nama keluarga. Perceraian dapat terjadi karena si isteri tudak dapat memberikan anak laki-laki pada keluarga si suami, atau dapat juga karena si isteri tidak mau tinggal bersama dengan isteri kedua dari suaminya dalam satu rumah.



h) Poligami
Dalam adat Tionghoa, seorang laki-laki hanya boleh memiliki seorang isteri, tetapi ia dapat mengambil sejumlah wanita sebagai isteri mudanya. Namun, isteri pertama tetap menjadi isteri yang utama, yang menagtur rumah tangga, yang mendampingi suaminya dalam pertemuan-pertemuan serta menjadi ibu dari semua anak-anak, baik anaknya sendriri maupun anak dari isteri lain. Isteri muda hanya berperan sebagai pemabntunya saja. Terkadang mengambil isteri muda, adalah anjuran isteri yang pertama, karena ia tidak mempunyai anak laki-laki. Kebiasaan ini sudah jarang terjadi, dan orang Tionghoa umumnya kawin monogami.

i) Kedudukan Wanita
Kedudukan wanita pada orang Tionghoa dulu sangat rendah. Pada waktu masih anak-anak, saudara laki-laki mereka memperlakukan mereka dengan baik, tetapi waktu meningkat dewasa mereka dipingit di rumah. Sesudah kawin, mereka harus tunduk kepada suami mereka dan dikuasai oleh mertua mereka. Mereka tidak mendapat bagian dalam kehidupan di dalam rumah.
Pada masa kini wanita berhak mendapat harta yang sama dengan anak laki-laki di dalam hal warisan, bahkan terkadang mendapat tugas untuk mengurus abu leluhurnya sehingga suaminya yang harus ikut tinggal di rumah orang tua wanita secara uxorilokal. Dengan naiknya kedudukan wanita, tidak ada kecenderungan lagi untuk memiliki anak laki-laki.

j) Tata Panggilan Menurut Adat Istiadat Tionghoa
Adat istiadat panggilan atau tradisi panggilan yang termasuk dalam kebudayaan Tionghoa merupakan suatu hal yang sangat indah dan sudah tua. Mengapa dikatakan demikian? Karena dengan mendengar panggilan seseorang dalam sebuah keluarga, maka dapat kita ketahui kedudukan orang tersebut dalam keluarga. Di dunia internasionalpun mengakui bahwa kebudayaan Tionghoa merupakan suatu kebudayaan yang kuno dan antik. Tata panggilan ini sekarang mulai sirna, karena generasi mudanya memilih hal-hal yang dianggap praktis dan modern misalnya mengikuti panggilan orang Belanda terhadap keluarga mereka yaitu Oom dan Tante. Namun masih untung ada juga yang ingin mengetahui apa arti panggilan tersebut. Secara garis besar dapat dikatakan sebagai berikut :
1. Orang Tionghoa sangat menghormati orang-orang yang lebih tua (leluhur)
2. Kekerabatan orang Tionghoa sangat erat dan saling mendukung
3. Setiap orang yang lebih tua untuk pria dipanggil "Coo", untuk wanita dipanggil "Poo", misalnya : untuk panggilan kakek buyut : Kongco, untuk panggilan nenek buyut : Popoo atau Apo
4. Untuk besan pria dipanggil : Cengkeh, untuk besan wanita dipanggil : Ceem
5. Urutan-urutan panggilan : yang paling besar : taa, yang nomor dua: ji, yang nomor tiga : saa, dst
6. Saudara pihak ayah dipanggil: "ncek", Saudara pihak ibu dipanggil : "ie", misalnya : kakak ibu I : taie, kakak ibu II : jiie , kakak ibu III : saie
7. Kakak ipar laki-laki dipanggil : "cihu", kakak ipar perempuan dipanggil : "nso (taso, jiso, saso)"
8. Adik ipar laki-laki dipanggil : ntio , adik ipar perempuan dipanggil : ncim
9. Silsilahnya adalah sebagai berikut :
Kakek buyut
(Kongco) Nenek buyut
(Papoo) Generasi I
Kakek
(nkong) Nenek
(apo/ama) Generasi II
Ayah
(tia-tia/papa) Ibu
(nene/mama) Generasi III
Anak I
(tacek) Istri
(tacim) Anak II
(jicek) Istri
(jicim) Anak III
(takoh) Suami
(tatio) Generaasi IV
Anak I
(tapek) Istri
(taem) Generasi V
• Anak I pria dipanggil : tapek. Istrinya dipanggil : taem. Anak II pria dipanggil : jipek. Istrinya dipanggil : jiem. Anak III pria dipanggil : sapek. Istrinya dipanggil : saem dst sesuai urutan dan nomor Tionghoa
• Anak I wanita dipanggil : takoh. Suaminya dipanggil : ntio. Anak II wanita dipanggil : jikoh. Suaminya dipanggil : jitio. Anak III wanita dipanggil : sakoh. Suaminya dipanggil : satio dst sesuai urutan dan nomor Tionghoa
• Antar ipar : Anak I pria dipanggil : tacek. Istrinya dipanggil : tacim. Anak II pria dipanggil : jicek. Isterinya dipanggil : jicim. Anak III pria dipanggil: sacek. Isterinya dipanggil : sacim
• Pada umumnya : Orang tua pria dapat dipanggil : ncek. Orang tua wanita dipanggil : ncim. Kalau masih muda pria dipanggil : ngkoh/akoh. Kalau masih muda wanita dipanggil : ncie/acih. Saudara ibu dipanggil: ie/aie
k) Panggilan Kekerabatan Dalam Tradisi Tionghua
tkerangan:
L: lelaki
P: perempuan
|: hubungan orang tua-anak
-: hubungan saudara
x: hubungan perkawinan


l) Nama Tionghoa


Karakter Xingming yang berarti nama dan marga
Nama Tionghoa adalah nama yang diekspresikan dengan karakter Han (Hanzi). Nama ini digunakan secara luas oleh warga negara Republik Rakyat Tiongkok, Republik China, Hong Kong, Makau dan keturunan Tionghoa di negara-negara lainnya.
Nama Tionghoa biasanya terdiri dari 2 karakter sampai 4 karakter, walaupun ada yang lebih dari 4 karakter, namun umumnya nama seperti itu adalah mengambil terjemahan dari bahasa lain sehingga tidak dianggap sebagai nama Tionghoa.
Nama Tionghoa mengandung marga dan nama. Marga Tionghoa diletakkan di depan nama, biasanya 1 sampai 2 karakter; nama mengikuti marga.

Evolusi Nama Tionghoa
Di zaman dahulu, menurut catatan literatur kuno ada peraturan bahwa nama seorang anak biasanya baru akan ditetapkan 3 bulan setelah kelahirannya. Namun pada praktiknya, banyak yang memberikan nama sebulan setelah kelahiran sang anak, bahkan ada yang baru diberikan setahun setelahnya. Juga ada yang telah menetapkan nama terlebih dahulu sebelum kelahiran sang anak.
Di zaman Dinasti Shang, orang-orang masih menggunakan nama dengan 1 karakter. Ini dikarenakan mereka belum mengenal marga dan juga karena jumlah penduduk yang tidak banyak.
Sebelum zaman Dinasti Han, biasanya nama Tionghoa hanya terdiri dari 2 karakter yang terdiri dari 1 karakter marga dan 1 karakter nama. Namun setelah Dinasti Han, orang-orang mulai memiliki sebuah nama lengkap yang terdiri dari 3 karakter (1 karakter marga dan 2 karakter nama) selain daripada nama resmi mereka yang 2 karakter itu.
Di zaman Dinasti Jin, orang-orang baru memakai nama dengan 3 karakter seperti yang kita kenal sekarang.
Nama menjadi sebuah hal yang penting bagi seseorang dipengaruhi oleh pemikiran Konfusius tentang pentingnya penamaan bagi penonjolan karakter seseorang.

Nama Generasi
Di dalam nama dengan 3 karakter, biasanya kita mengenal adanya nama generasi. Nama yang mengandung nama generasi adalah 1 karakter marga, 1 karakter generasi dan 1 karakter marga. Pada tingkatan generasi yang sama dalam satu keluarga besar biasanya memiliki nama generasi yang sama.
Nama generasi ditetapkan oleh leluhur dengan mengambil sebuah puisi atau bait di dalamnya untuk penamaan generasi turun-temurun. Biasanya sebuah puisi berisikan 16, 20 atau bahkan 24 karakter buat 16, 20 atau 24 generasi ke bawah. Sampai generasi ke-17, 21 atau 25, nama generasi akan dimulai kembali dari karakter generasi pertama.
Nama generasi ini tidak lazim digunakan di semua keluarga karena biasanya hal seperti ini merupakan monopoli orang terpelajar. Karena pendidikan tidak umum bagi rakyat biasa di zaman dulu di Tiongkok, maka banyak pula keluarga yang tidak menggunakan nama generasi dalam pemberian nama.

Nama Tionghoa Di Indonesia
Suku Tionghoa-Indonesia sebelum zaman Orde Baru rata-rata masih memiliki nama Tionghoa dengan 3 karakter. Walaupun seseorang Tionghoa di Indonesia tidak mengenal karakter Han, namun biasanya nama Tionghoa di Indonesia tetap diberikan dengan cara romanisasi. Karena mayoritas orang Tionghoa di Indonesia adalah pendatang dari Hokkian, maka nama-nama Tionghoa berdialek Hokkian lebih lazim daripada dialek-dialek lainnya.
Di zaman Orde Baru, di bawah pemerintahan Suharto, warganegara Indonesia keturunan Tionghoa dianjurkan untuk mengindonesiakan nama Tionghoa mereka dalam arti mengambil sebuah nama Indonesia secara resmi. Misalnya Liem Sioe Liong diubah menjadi Soedono Salim. Walaupun demikian, di dalam acara kekeluargaan, nama Tionghoa masih sering digunakan; sedangkan nama Indonesia digunakan untuk keperluan surat-menyurat resmi.
Namun sebenarnya, ini tidak diharuskan karena tidak pernah ditetapkan sebagai undang-undang dan peraturan yang mengikat. Hanya tarik-menarik antara pendukung teori asimilasi dan teori integrasi wajar di kalangan Tionghoa sendiri yang menjadikan anjuran ini dipolitisir sedemikian rupa. Anjuran ganti nama tersebut muncul karena ketegangan hubungan Republik Rakyat Tiongkok dengan Indonesia setelah peristiwa G30S. Tahun 1966, Ketua Lembaga Pembinaan Kesatuan Bangsa (LPKB), Kristoforus Sindhunata menyerukan penggantian nama orang-orang Tionghoa demi pembangunan karakter dan nasionalisme bangsa.
Seruan ini mendapat kecaman dari kalangan orang Tionghoa sendiri dan cemoohan dari kalangan anti-Tionghoa. Yap Thiam Hien secara terbuka menyatakan bahwa nama tidak dapat menjadi ukuran nasionalisme seseorang dan ini juga yang menyebabkan nasionalis terkemuka Indonesia itu tidak mengubah namanya sampai akhir hayatnya. Cemoohan datang dari KAMI dan KAPPI yang pada waktu itu mengumandangkan nada-nada anti-Tionghoa yang menyatakan bahwa ganti nama tidak akan mengganti otak orang Tionghoa serta menyerukan pemulangan seluruh orang Tionghoa berkewarganegaraan RRT di Indonesia ke negara leluhurnya.
Ganti nama ini memang merupakan satu kontroversi karena tidak ada kaitan antara pembangunan karakter dan nasionalisme bangsa dengan nama seseorang, juga karena tidak ada sebuah nama yang merupakan nama Indonesia asli.

MARGA
Sne (dulu she atau seh) atau marga dalam bahasa Indonesia dan xing dalam Mandarin, merupakan bagian penting dalam budaya Tionghoa.Dengan mengetahui sne orang bisa menelusur asal usulnya atau disebut xungen yang berarti mencari akar. Sne Tionghoa mencapai ribuan jumlahnya, tapi yang masih ada sekarang, menurut statistik resmi di Tiongkok hanya sekitar 3500. Jangan lupa statistik itu tak tepat, jadi kita tidak tahu berapa tepatnya, hanya tahu sekitar 3500 yang berarti lebih dari 3500. Populasinya sangat tidak merata, ada sne Li nomor satu jumlahnya di Tiongkok, yang jumlahnya sekitar 7,9% penduduk Tiongkok. Dapat dihitung 7,9% kali 1,3 milyar berarti lebih dari 100 juta! Sne Wang, atau ong raja nomor dua, dll. Ada sne yang sangat sedikit jumlahnya, dan hanya ada di suatu kampung tertentu, hingga orang Tiongkok sendiri banyak yang tak tahu. Misalnya sne Niang (niang dari nona = guniang), baru orang sadar, setelah ada salah seorang anggota Kongres Rakyat Nasional (parlemen) RRT yang bersne Niang. Ada sne Jiu (arak) di Taiwan, yang ketika diwawancarai wartawan, mengatakan mereka sendiri belum pernah bertemu orang sama snenya. Untuk memudahkan dipilih 300 sne terbanyak. Yang menjadi runyam adalah cara membaca sne, ada yang dengan dialek Hokkian, ada yang Konghu, ada yang Kheq, ada Hokchnia dll. Sudah dialeknya tak sama, ejaannya tak sama lagi, misalnya Liao, Liau, Liauw ada Leau, ada Leow dll. Itu baru satu sne. Hal ini menjadi agak mudah kalau kita tahu huruf Tiongho

Mahluk Suci Pembawa Kemakmuran dan Simbol Kekaisaran

Tahun Baru Imlek 2559 di Bumi Enggang Gading terasa istimewa. Naga raksasa akan menyemarakkan pesta musim semi ini. Ada ambisi lainnya yang menyertai turunnya mahluk suci dalam mitologi masyarakat China ini. Mencatatkan dirinya di Museum Rekor Indonesia, bahkan dunia.
Jika di Imlek sebelumnya Kalbar pernah mencatat penghargaan memiliki naga terpanjang, 549,26 meter, yang dicatat dalam Museum Rekor Indonesia (Muri), kali ini di Tahun Baru China 2559, tepatnya di Kota Singkawang, sekali lagi akan mengukir sejarah di negeri ini bahkan dunia.
Naga raksasa yang diprakarsai Sanggar Mandala ini mempunyai bobot kepala mencapai 100 kg dengan tinggi kepala 8 meter. Badan naga raksasa itu mempunyai panjang sekitar 288 meter dengan diameter badan 5 meter.
Shinse Aleng, pnanggung jawab acara yang juga Ketua Sanggar Mandala, mengatakan bahwa para pengunjung juga dapat masuk dan berjalan di dalam perut naga yang akan dihiasi dengan aneka lampion, aksesoris, musik, dan lainnya sehingga akan memberikan suatu kenyamanan bagi setiap pengunjung. “Dua ratus pengunjung, bisa muat dalam perut naga itu,” ujar Aleng.

Dalam perut naga yang berbahan utama rotan dan menghabiskan sekitar 1.000 meter kain ini, juga disediakan lampion terbesar dengan ukuran lebar 2 meter dan tinggi 2,5 meter. Lampion inilah yang kelak membuat naga akan bercahaya di waktu malam.
Di dalam perut naga, juga akan disediakan replika pagoda dengan tinggi 2,5 meter juga taman imitasi, lengkap dengan patung Dewi Kwan Im. Hal spesial lainnya yang terdapat di dalam perut naga yakni hadirnya musik tradisional dari 33 provinsi dilengkapi dengan para model yang menggenakan baju adat masing-masing provinsi.
Festival naga raksasa ini juga diikuti bazar oriental yang bergabung dengan Panitia Naga, Barongsai, dan Tatung Kota Singkawang. Acaranya sendiri akan diselenggarakan pada 14—21 Februari di STIE Mulya Singkawang.
Mahluk suci
Naga atau liong merupakan mahluk sakral dalam Agama Khonghucu. Bersama barongsai (Qilin), naga mempunyai makna dan simbol penting ketika Nabi Khonghucu lahir.
Menurut Pemerhati Budaya Tionghoa yang juga menjabat sebagai Sekretaris Dewan Pimpinan Pusat Lembaga Pembinaan Agama Khonghucu dan Kelenteng Kalimantan Barat (LPAKK-KB) Suryanto BSc SH, mengatakan bahwa ketika Nabi Khonghucu lahir, dijaga oleh dua ekor naga di lembah Kong Song.
Sedangkan Qilin yang badannya berbentuk seperti kuda bersisik dan berkepala naga serta bertanduk tunggal, kemunculannya di dunia hanya dua kali, yaitu ketika nabi suci Fu Xi lahir sekitar 5 ribu tahun yang lalu dan nabi Khonghucu lahir pada 2558 yang lalu.
Setelah itu, berkembang versi lain mengenai cerita Qilin tersebut. Diceritakan bahwa zaman dahulu kala bahwa ada seekor binatang yang menyerupai singa. Hewan yang dikenal nama heng sai ini selalu tampak di suatu wilayah. Hewan ini diyakini bertugas untuk mengusir roh-roh jahat.
"Makanya di setiap klenteng biasanya selalu ada patung heng sai di depan pintu gerbang. Di rumah-rumah warga Tionghoa juga banyak yang menyimpannya. Fungsinya untuk mengusir roh jahat," kata Suryanto waktu itu. Sementara gambar naga, juga selalu ada pada tiang utama di kelenteng, digambarkan seperti melilit tiang tersebut.
Karena diyakni bahwa Liong sebagai mahluk penjaga, beberapa arsitektur rumah Tiongkok juga biasanya dijumpai desain kepala naga yang digunakan untuk model ketokan pintu rumah yang berbentuk seperti kepala naga yang menggigit gelang yang biasanya berada di depan gerbang-gerbang dan berjumlah sembilan.
Dari beberapa sumber yang saya himpun, disebutkan bahwa sembilan naga tersebut mempunyai makna yang berbeda-beda. Mereka adalah: TianLong (Celestial Dragon), ShenLong (Spiritual Dragon), FucangLong (Dragon Hidden Treasures), DiLong (Underground Dragon), YingLong (Winged Dragon), JiaoLong (Horned Dragon), PanLong (Coiling Dragon: menghuni air), HuangLong (Yellow Dragon; Muncul dari sungai Luo) dan terakhir Dragon King.
Pembawa kemakmuran

Sementara itu Syafaruddin Usman MHD, Peminat Kajian Kontemporer Sejarah dan Budaya Kalbar, mengatakan bahwa sejarah naga Tionghoa sudah ada sejak lebih dari 6000 tahun.
“Riset menunjukkan bahwa naga mungkin tercipta dari gabungan unsur-unsur totem yang berbeda, bentuk utamanya adalah ular,” katanya. Menurutnya, pada zaman dahulu, orang sering menggunakan binatang buas, bahkan tanaman, yang mereka takuti sebagai tanda suku mereka.
Dengan menyembah tanda itu, mereka berharap bisa dilindungi dari bahaya. Inilah yang dimaksud totemisme. Pada masa itu, Cina merupakan masyarakat kesukuan. Setiap suku memuja totem mereka sendiri.
Syafaruddin melanjutkan, pada zaman dahulu, bangsa Tionghoa menganggap naga sebagai hewan yang sangat kuat, mulia dan misterius. Naga bisa berenang di laut dan memanggil angin dan hujan. Makhluk mitos Ilahi ini dipercaya membawa kemakmuran, nasib baik, dan perlindungan Ilahi, dan merupakan simbol kekuasaan, kehebatan, keberanian, kepahlawanan, kebangsawanan dan keilahian.
Tidak seperti pasangannya di Barat yang dihubungkan dengan sifat-sifat negatif, menurut Syafaruddin, Naga Timur terlihat sebagai makhluk yang damai dan bijaksana. Selain ditakuti, mereka juga dicintai dan dipuja.
“Itulah sebabnya banyak kota di Cina yang memiliki pagoda, tempat orang membakar dupa dan berdoa untuk naga. Oleh karena mereka tidak mampu mengendalikannya, seperti terhadap hewan lainnya, mereka berdoa mohon perlindungan, cuaca yang bagus, dan panen yang melimpah,” katanya.
Simbol Kekaisaran
Syafaruddin yang juga akan meluncurkan buku tentang sejarah Tionghoa di Kalbar beserta budayanya dalam waktu dekat ini melanjutkan, naga juga merupakan simbol kekuasaan kekaisaran.
Tubuh kaisar disebut tubuh naga. Sedangkan mukanya, disebut wajah naga. Ia memakai jubah naga, duduk di atas kursi naga dan tidur di atas ranjang naga. Keturunannya disebut keturunan naga.
“Kuil naga dibangun untuk memuja naga. Pada hari perayaan, orang akan memutar lentera naga dan menampilkan tarian naga. Naga menjadi simbol perayaan,” katanya.
Ada berbagai macam festival naga. Misalnya, pada perayaan Festival Pemujaan Naga dan Festival Naga Musim Semi, orang-orang berdoa untuk cuaca yang baik dan panen yang melimpah, dan memakan mi jenggot naga dan biskuit sisik naga. Selama Festival Perahu Naga diselenggarakan lomba perahu naga. (**)

SHE - Ai Lai Guo/Love Was Here (OST Bull Fighting)

wo kan bu kai ye fang bu kai
yin wei wo ceng jian guo ai qing zhen de sheng kai
wo yao deng dai yi zhi deng dai
deng na yi ge ye wan cong hui yi hui lai
dang ni yong bao zhe wo na yi shun jian
wo xiang fei dao kong zhong
er dang wo huan huan jiang luo
wo bu zai shi wo
wo you le meng wo zai meng zhong
ai lai guo lai de na me mei na me xiong
huan hu zhe cong wo sheng ming hen hen nian guo
lian yi han ye dou bu zheng qi de zhen xi cheng xiao rong
ai lai guo rang wo wan zhen guo (rang wo) xin fu guo
zhen me neng qing yi jiu fang ta zou
wo bu xiang jie tuo wo zhi pa cuo guo
wo jiu shi yao deng ni hui lai ai wo
ji mo xuan hua wo bu ha pa
yin wei wo zhi ting de jian dui ni de qian gua
shi jie hen da hui rong de xia
wo zhe xiao xiao sha sha wan gu de xin yang
ni you me you guo cheng nuo wo yi wang le
na yi bu zhong yao le
fan zheng wo dou hui shou hou zai meng zhong shou hou
wo zui wei yi zui me de meng
ai lai guo lai de na me mei na me xiong
huan hu zhe cong wo sheng ming hen hen nian guo
lian yi han ye dou bu zheng qi de zhen xi cheng xiao rong
ai lai guo rang wo wan zhen guo xin fu guo
zhen me neng qing yi jiu fang ta zou
wo bu xiang jie tuo wo zhi pa cuo guo
wo jiu shi yao deng ni hui lai
ru guo xu yao dong yong qi ji lai zhao huan hui ni
jiu rang lei zhen fa xia cheng xue hua
he wo yi qi zai ai zhong bei rong hua

Sabtu, 22 November 2008

dia...........

dia..........
menghadirkan kembali setiap tawa yang telah hilang...............
dia...............
keteduhan mata nya membuat damai di hatiku......
dia..........
mengulurkan tangan nya disaat ku terjatuh...........
dia...........
yang menghapus air mata ini,
dia...............
yang meminjamkan punggungnya untukku bersandar
dia...........
begitu banyak arti dalam hidupku.............
karena dia.............

menghijaukan kembali ranting hatiku yang telah patah.............

Rabu, 12 November 2008

cinta atau luka.....

kau hadir......
untuk menghijau kembali ranting hatikku.....
menyejukkan kembali jiwa
mengembalikan tawa aku yang sempat hilang....

tuhan......
aku mulai membuka pintu hati ku untuk dia........
jangan kau ambil dia dari ku......
jangan kau jauhkan dia dari ku................

tuhan.......................
aku mohon....................

tapi jika itu yang terbaik untuk ku ........
aku mencoba ikhlas.......................
ikhlas terjadp cinta yg sekaligus menoreh luka di hatiku